Saturday, January 31, 2009

Persatuan dalam Democrazy ...


Indonesia memang luar biasa, one country, 17.508 islands (moga-moga tidak terus berkurang, dengan adanya global warming, ‘ekspor’ tanah ke Singapura, dan lepasnya Sipadan & Ligitan), 483 distinct cultures, more than 250 native languages. Tetapi sesuai semangat persatuan Bung Karno, mestinya bukan menjadi alasan untuk terus berkembangnya sikap primordial dan eksklusifisme atau apa pun namanya (masih bingung cari istilah yang pas, ada usulan … :) … ), yang kebablasan mengkotak-kotak-kan bangsa dan cenderung kontraproduktif dengan arah pembangunan bangsa.

Bukan berarti tidak setuju dengan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, tetapi sebetulnya pusing juga kalau melihat 40 lebih partai politik dalam pemilu. Setelah reformasi 1998, memang Indonesia, dalam pandangan saya, seperti memasuki tahapan dalam suatu siklus demokrasi dan politik yang memunculkan partai baru sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan perbedaan pendapat. Pemunculan ‘kotak’ baru sebagai jalan keluar, atau setidaknya membuat ‘kotak’ modifikasi dari kotak lama.

Mungkin saya salah, tetapi kelihatannya jalan keluar tersebut belum akan bisa menyelesaikan akar permasalahannya. Untuk menyelesaikan suatu permasalahan kita harus memahami dinamika dari permasalahan, bukan hanya sekedar menyederhanakan masalah atau kebalikannya, demi tidak meninggalkan detail, malah membuat skema pemecahan masalah yang membuat masalah menjadi kelihatan semakin kompleks dan rumit.

Saya salut dengan Mikhail Gorbachev yang sangat jeli memahami dinamika masalah perang dingin yang ditandai perlombaan senjata nuklir antara blok barat dan timur, atau “arms race” pada tahun 80-an (kalau gak salah ingat). Pengembangan senjata nuklir di satu pihak selalu dijawab dengan penambahan senjata nuklir juga oleh pihak lain, menjadi suatu siklus maut. Pada masa itu, siklus maut ini kelihatannya terlalu rumit dan kompleks untuk diurai. Tetapi “Arms race” akhirnya berubah jadi “Peace race” atau perlombaan menuju damai, setelah Gorbachev mengambil inisiatif pengurangan senjata nuklir yang diikuti oleh blok barat (Senge dalam "Fifth Discipline"). Sehingga mulai putuslah siklus maut “arms race” dan istilah “perang dingin” mulai menghilang dari kosa kata “Dunia dalam Berita”.

Di Indonesia, siapa berani mulai memutus siklus pengkotak-kotak-an bangsa ini, sehingga kita mulai bersama-sama menyelesaikan akar permasalahannya?

1 comment:

naga said...

makasih infonya